Powered by Blogger.

featured Slider

Gadis Bireuen

By | 00:45:00 Leave a Comment
Gadis Bireuen

“Gadis bireuen memang hana pat koh” Ucap seorang kawan dengan mimik wajah seorang saudagar seberang daratan ini.
Baginya, dara bireuen seorang yang pantas dijadikan pendamping dalam mengarungi lautan kehidupan ia nantinya.  Menjadi sosok yang ideal dan baik memperingatkan dia ketika langkahnya mulai menjauh dari hati nurani manusia dan aturan agama. Benar-benar menjadi seorang pembimbing untuk anak-anaknya. Sungguh. Sikawan itu ingin anak-anaknya kelak lahir dari rahim seorang perempuan Bireuen.
“ perihal apa yang membuat kau begitu mengagumi gadis Bireuen? Tanya sitohang. Logat bataknya masih kental sedia kala. Ia sudah mengerti sedikit banyaknya bahasa Aceh selama sudah menjadi mahasiswa disalah satu kampus terbesar di Aceh. ia telah mengamalkan kata-kata dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
“ kau Tohang tidak bisa mengerti yang aku rasakan, kau punya kenalan tidak dengan gadis bireuen, Hah! “ timpal Si Sof meniru logat dari tanah batak yang membuat si Tohang menahan tawa.
“ kalau kau punya dan dekat dengan si Gadis Jeumpa Itu, percayalah kau akan mengemis cinta padanya” lanjut si Suf dengan membara layaknya sedang menyanyi lagu dangdut dinegeri pecinta dangdut ini. walaupun sebenarnya dangdut saat ini sudah berbeda dengan zaman 2000an kebawah. Musik dangdut saat ini tak lebih hanya irama yang membangunkan “otot” manusia normal. Tak lebih. Zaman sudah berubah dengan segala kengerian yang ada.
“ ah. Macam penyair saja kau” tawanya sitohang tanpa bisa ditahan.
Alam kesadaran manusia memang sedikit yang nongol dari dalam diri seorang makhluk yang berakal dibumi ini. ketika alam ketidaksadarannya mulai bermain, maka kehebatan manusia bisa diluar kapasitas yang bisa diprediksi. Layaknya gunung es, Hanya puncaknya saja yang mungkin terlihat. Namun air yang menutupi bagian bawahnya sungguh tidak terkira besarnya gunung es tersebut. begitu setidaknya paparan dari sang tokoh psikologi. Sigmund Freud.
Mungkin. Saat ini si Suf masih berada dibawah alam kesadarannya sehingga kata-katanya keluar deras mengalir dengan tak bisa dibendung sedikit tidaknya mirip sang penyair.
Sibok peugah masalah Inong, selesaikan dulu tugas kita, besok pagi kumpul jam 8 dan warung kopi ini satu jam lagi tutup, jangan sampai berlanjut mengerjakan di kos. Selesaikan disini” Ucap si Abdol panjang lebar yang sedang mengetik di laptop. Teman temannya bukan malah membantu menyelesaikan tugas namun Asyik berdebat satu sama lain suatu permasalahan ditempat dan waktu yang salah.
“Iaiaiaa,Abdol” jawab si SuF dan Sitohang berbarengan.
Mereka kembali mengerjakan tugas yang tadi sempat terbengkalai karena berdebat masalah gadis bireuen itu. Suara mesin-mesin berjalan sudah berkurang karena malam sudah larut. Sesekali hanya terdengar satu dua tiga mesin tranportasi itu melintas dijalanan depan warung kopi mereka berada. Jalanan masih basah selepas hujan setengah jam lalu. Angin malam berdesing menyelimuti kota dengan hawa dingin sampai menusuk tulang belulang. Langit hitam pekat tanpa setitik cahaya bintang. Sungguh malam yang tidak ada pesona. Namun tidak dengan sang Gadis Bireuen. Nyannnnnn..........


Banda Aceh, Juni 2015 
Newer Post Older Post Home

0 comments: