“Gadis
bireuen memang hana pat koh” Ucap
seorang kawan dengan mimik wajah seorang saudagar seberang daratan ini.
Baginya,
dara bireuen seorang yang pantas dijadikan pendamping dalam mengarungi lautan
kehidupan ia nantinya. Menjadi sosok
yang ideal dan baik memperingatkan dia ketika langkahnya mulai menjauh dari
hati nurani manusia dan aturan agama. Benar-benar menjadi seorang pembimbing
untuk anak-anaknya. Sungguh. Sikawan itu ingin anak-anaknya kelak lahir dari rahim
seorang perempuan Bireuen.
“
perihal apa yang membuat kau begitu mengagumi gadis Bireuen? Tanya sitohang. Logat
bataknya masih kental sedia kala. Ia sudah mengerti sedikit banyaknya bahasa
Aceh selama sudah menjadi mahasiswa disalah satu kampus terbesar di Aceh. ia
telah mengamalkan kata-kata dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
“
kau Tohang tidak bisa mengerti yang aku rasakan, kau punya kenalan tidak dengan
gadis bireuen, Hah! “ timpal Si Sof meniru logat dari tanah batak yang membuat
si Tohang menahan tawa.
“
kalau kau punya dan dekat dengan si Gadis Jeumpa Itu, percayalah kau akan
mengemis cinta padanya” lanjut si Suf dengan membara layaknya sedang menyanyi
lagu dangdut dinegeri pecinta dangdut ini. walaupun sebenarnya dangdut saat ini
sudah berbeda dengan zaman 2000an kebawah. Musik dangdut saat ini tak lebih
hanya irama yang membangunkan “otot” manusia normal. Tak lebih. Zaman sudah
berubah dengan segala kengerian yang ada.
“
ah. Macam penyair saja kau” tawanya sitohang tanpa bisa ditahan.
Alam
kesadaran manusia memang sedikit yang nongol dari dalam diri seorang makhluk
yang berakal dibumi ini. ketika alam ketidaksadarannya mulai bermain, maka
kehebatan manusia bisa diluar kapasitas yang bisa diprediksi. Layaknya gunung
es, Hanya puncaknya saja yang mungkin terlihat. Namun air yang menutupi bagian
bawahnya sungguh tidak terkira besarnya gunung es tersebut. begitu setidaknya
paparan dari sang tokoh psikologi. Sigmund Freud.
Mungkin.
Saat ini si Suf masih berada dibawah alam kesadarannya sehingga kata-katanya
keluar deras mengalir dengan tak bisa dibendung sedikit tidaknya mirip sang
penyair.
“
Sibok peugah masalah Inong,
selesaikan dulu tugas kita, besok pagi kumpul jam 8 dan warung kopi ini satu
jam lagi tutup, jangan sampai berlanjut mengerjakan di kos. Selesaikan disini” Ucap
si Abdol panjang lebar yang sedang mengetik di laptop. Teman temannya bukan
malah membantu menyelesaikan tugas namun Asyik berdebat satu sama lain suatu
permasalahan ditempat dan waktu yang salah.
“Iaiaiaa,Abdol”
jawab si SuF dan Sitohang berbarengan.
Mereka
kembali mengerjakan tugas yang tadi sempat terbengkalai karena berdebat masalah
gadis bireuen itu. Suara mesin-mesin berjalan sudah berkurang karena malam
sudah larut. Sesekali hanya terdengar satu dua tiga mesin tranportasi itu melintas
dijalanan depan warung kopi mereka berada. Jalanan masih basah selepas hujan
setengah jam lalu. Angin malam berdesing menyelimuti kota dengan hawa dingin
sampai menusuk tulang belulang. Langit hitam pekat tanpa setitik cahaya
bintang. Sungguh malam yang tidak ada pesona. Namun tidak dengan sang Gadis
Bireuen. Nyannnnnn..........
Banda
Aceh, Juni 2015
0 comments: